Doom spending adalah istilah yang merujuk pada perilaku seseorang yang terus melakukan pembelian barang-barang yang tidak perlu, meskipun sedang menghadapi kesulitan ekonomi atau ketidakpastian finansial. Fenomena ini sering terjadi sebagai bentuk pelarian emosional saat seseorang merasa stres atau khawatir akan situasi ekonomi yang memburuk.
Karakteristik Doom Spending:
- Belanja Emosional: Seseorang menghabiskan uang secara impulsif untuk membeli barang-barang seperti pakaian, gadget, atau barang-barang mewah sebagai cara untuk mengalihkan perhatian dari stres atau rasa cemas.
- Reaksi Psikologis Terhadap Krisis: Di masa resesi atau krisis keuangan, individu merasa tidak memiliki kendali atas situasi keuangan mereka. Dengan berbelanja, mereka mendapatkan rasa kendali sementara atau ilusi normalitas.
- Takut Ketinggalan (FOMO): Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, orang mungkin khawatir barang yang diinginkan akan habis atau harganya naik. Hal ini mendorong pembelian yang cepat sebelum situasi semakin memburuk.
- Kepuasan Jangka Pendek: Alih-alih menabung untuk kebutuhan masa depan, banyak orang memilih untuk mendapatkan kepuasan instan melalui belanja, meskipun mereka tahu bahwa hal itu bisa memperburuk kondisi keuangan mereka.
Contoh Doom Spending:
- Selama pandemi COVID-19, banyak orang yang meningkatkan pengeluaran untuk barang-barang tidak penting seperti pakaian, langganan hiburan, atau dekorasi rumah sebagai cara untuk menghadapi kecemasan dan ketidakpastian.
- Di masa resesi, perilaku doom spending dapat terlihat melalui pembelian barang mewah yang tidak diperlukan, meskipun seseorang sedang menghadapi kehilangan pekerjaan atau ketidakstabilan keuangan.
Dampak Doom Spending:
- Stres Finansial: Meskipun belanja impulsif memberikan kelegaan sementara, perilaku ini dapat menyebabkan masalah finansial yang lebih dalam, seperti peningkatan utang atau penipisan tabungan.
- Tidak Membantu Pemulihan Ekonomi: Doom spending cenderung lebih fokus pada konsumsi pribadi jangka pendek dan bukan pada peningkatan stabilitas finansial, sehingga dampaknya terhadap pemulihan ekonomi secara luas tidak signifikan.
Secara keseluruhan, doom spending mencerminkan reaksi psikologis terhadap ketidakpastian ekonomi, di mana seseorang lebih mengutamakan kepuasan jangka pendek dibandingkan kesejahteraan keuangan jangka panjang.
Fenomena doom spending menjadi salah satu penyebab generasi milenial dan Gen Z mengalami masalah keuangan atau merasa sulit untuk menabung, yang bisa membuat mereka rentan terhadap kemiskinan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perilaku ini berdampak besar pada keuangan mereka:
1. Pengaruh Media Sosial dan FOMO (Fear of Missing Out)
- Tekanan Sosial: Generasi milenial dan Gen Z sangat dipengaruhi oleh media sosial, di mana mereka sering kali melihat gaya hidup mewah atau tren terbaru yang dipamerkan oleh teman, influencer, atau selebriti. Hal ini menciptakan tekanan untuk mengikuti gaya hidup yang sama, bahkan jika keuangan mereka tidak mendukung.
- Fear of Missing Out (FOMO): Banyak dari mereka merasa takut ketinggalan tren atau barang-barang terbaru. Akibatnya, mereka melakukan pembelian impulsif untuk merasa “terhubung” atau mengikuti tren, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap keuangan.
2. Kepuasan Instan
- Konsumsi Cepat dan Instant Gratification: Generasi ini tumbuh di era teknologi yang serba cepat, di mana segala sesuatu dapat diakses dalam hitungan detik. Keinginan untuk mendapatkan kepuasan langsung, baik melalui barang, pengalaman, atau hiburan, mendorong perilaku belanja yang tidak terencana dan konsumtif.
- Kurangnya Perencanaan Keuangan: Banyak milenial dan Gen Z yang kurang fokus pada perencanaan keuangan jangka panjang, seperti menabung untuk pensiun atau investasi. Sebaliknya, mereka lebih cenderung menghabiskan uang untuk barang-barang konsumsi jangka pendek yang memberikan kepuasan instan.
3. Kredit Mudah dan Buy Now, Pay Later (BNPL)
- Kemudahan Kredit: Dengan maraknya fasilitas kredit dan layanan buy now, pay later, banyak generasi muda yang terjebak dalam utang konsumtif. Mereka cenderung melakukan pembelian barang-barang yang tidak mereka butuhkan dengan fasilitas cicilan yang terlihat ringan, padahal biaya utang bisa membengkak seiring waktu.
- Tingkat Utang yang Meningkat: Akses mudah terhadap kartu kredit dan layanan cicilan membuat banyak dari mereka menghabiskan lebih dari kemampuan finansial mereka, yang kemudian mempengaruhi kemampuan mereka untuk menabung atau melakukan investasi.
4. Biaya Hidup yang Lebih Tinggi
- Lingkungan Ekonomi yang Berbeda: Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, milenial dan Gen Z menghadapi biaya hidup yang lebih tinggi, termasuk biaya perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Doom spending menambah beban finansial di tengah lingkungan ekonomi yang sudah menantang ini.
- Gaji Tidak Seimbang dengan Kenaikan Biaya: Banyak dari mereka yang merasa pendapatan mereka tidak seimbang dengan biaya hidup yang terus meningkat. Hal ini menyebabkan mereka lebih mudah terdorong untuk mencari kesenangan jangka pendek melalui belanja, meskipun hal itu memperburuk situasi keuangan mereka.
5. Kurangnya Edukasi Keuangan
- Minimnya Pemahaman Tentang Investasi dan Tabungan: Banyak milenial dan Gen Z yang kurang mendapat pendidikan tentang pentingnya pengelolaan keuangan yang baik, seperti pentingnya menabung, berinvestasi, atau mengelola utang dengan bijak. Doom spending dapat diperparah oleh kurangnya kesadaran tentang dampak jangka panjang dari kebiasaan belanja yang boros.
Dampak Jangka Panjang
- Kesulitan Menabung dan Investasi: Doom spending membuat mereka sulit untuk menabung atau melakukan investasi yang penting untuk masa depan. Ini bisa menyebabkan mereka tidak memiliki cukup dana untuk pensiun atau menghadapi kondisi darurat.
- Terjebak dalam Lingkaran Utang: Perilaku konsumtif yang didukung oleh kredit mudah bisa menjerumuskan generasi ini dalam lingkaran utang yang sulit dihentikan, sehingga menghambat mereka mencapai kebebasan finansial.
Secara keseluruhan, doom spending adalah fenomena yang memperparah ketidakstabilan keuangan generasi milenial dan Gen Z. Tanpa pengelolaan keuangan yang bijak, mereka bisa terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang sulit dikendalikan, berisiko membuat mereka semakin sulit mencapai tujuan keuangan jangka panjang.




